Permasalahan Ekologi Di Papua

Honny Pigai
0

Hutan yang dibabat untuk perkebunan Kelapa Sawit Milik PT. Nabire Baru di Distrik Yaur, Nabire. Dok. Robertino Hanebora


Oleh : Agustinus Nuak Berek

KESADARAN manusia akan pentingnya pelestarian lingkungan hidup kurang tampak, terutama di Papua umumnya. Kita bisa melihat bahkan mengalami sendiri dampak dari menurunnya kesadaran untuk melestarikan lingkungan.

Misalnya, banjir dan bencana tanah longsor. Selain itu, kita menyaksikan juga pembabatan hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit atau pengambilan kayu secara besar-besaran oleh perusahaan kayu. Kita juga menyaksikan aktivitas pertambangan yang merusak berbagai hutan dan gunung. Para penduduk yang kesulitan pemukiman berani membuat rumah di pinggiran sungai yang membuat polusi air dan pemukiman di lereng-lereng gunung yang membuat daerah itu rawan erosi dan longsor. Semua ini jelas merugikan bahkan membahayakan keselamatan manusia.

Walaupun beberapa bencana seperti gempa bumi dan tsunami masih menjadi misteri bagi manusia, ada sebuah kecenderungan dalam diri manusia untuk mempersalahkan alam, bahwa alam tidak serba baik. Manusia lupa bahwa alam memiliki dimensi positif yang banyak bagi kehidupan manusia. Hal ini dialami oleh manusia ketika manusia menggunakan alam sebagai tempat untuk mencari nafkah dan tempat tinggal atau memanfaatkan hasil-hasil alam untuk kehidupan dan perkembangan manusia. Akan tetapi manusia lupa akan tanggung jawab tampak dalam pemanfaatan alam secara berlebihan atau eksploitatif atau lupa untuk meremajakan berbagai macam hasil alam yang telah dimanfaatkan. Ulah manusia demikian menyebabkan berbagai bencana ekologis seperti yang disebutkan di atas.

Keramahan lingkungan pada zaman dahulu sudah menjadi kearifan tersendiri dalam masyarakat lokal, misalnya pohon yang ditebang harus sesuai dengan jenisnya dan ditebang sesuai dengan kebutuhan serta ditebang di tempat tertentu. Namun kearifan begini telah hilang karena kesadaran akan pentingnya lingkungan serta kebersamaan hidup dengan alam makin rendah.

Persoalan lingkungan berkaitan dengan masalah perusakan hutan, sumber air, sampah serta tambang akan bisa diminimalisir jika di dalam diri manusia terdapat sikap tepat yaitu ramah lingkungan. Permasalahan lingkungan di atas paling kurang mewakili tiga sikap manusia modern.

Sikap pertama adalah keinginan yang berlebihan akan keuntungan ekonomi. Keuntungan ekonomi menjadi faktor pendorong sehingga berbagai manipulasi dilakukan seperti yang terjadi dengan illegal logging, perluasan perkebunan tanpa kesepakatan serta berbagai penipuan yang dilakukan terhadap masyarakat kecil dengan ancaman militer. Keuntungan ini sering kali bukan hanya merupakan masalah dari kapitalis yaitu pemilik modal besar tetapi juga masalah masyarakat kecil seperti kepala-kepala suku yang dengan gampang membuat kesepakatan dengan pihak perusahaan tanpa perundingan dengan anggota suku.

Sikap kedua adalah sikap instan. Banyak orang mengharapkan bahwa segala sesuatu diselesaikan, dijalankan dan dihasilkan secepat mungkin. Selain masalah itu, orang sering dengan gampang membuang sampah dalam bentuk apa pun di tempat umum atau di sungai atau di laut karena tidak secara langsung mengganggunya tetapi membuatnya merasa aman. Sikap ini jelas mengotori dan tetapi mengancam kesehatan dan keamanan dalam jangka panjang.

Sikap ketiga adalah rendahnya kesadaran akan pentingnya lingkungan. Lingkungan menjadi masalah penting pada sekitar tahun 1970-an ketika muncul berbagai literatur yang berkaitan dengan masalah pestisida yang berdampak lingkungan seperti hama dan penyakit. Namun kesadaran akan lingkungan sudah menjadi kearifan tersendiri dalam masyarakat lokal, misalnya pohon yang ditebang harus sesuai dengan jenisnya dan ditebang sesuai dengan kebutuhan serta ditebang di tempat tertentu. Namun kearifan begini telah hilang karena kesadaran akan pentingnya lingkungan serta kebersamaan hidup dengan alam makin rendah. Karena itu yang diperlukan adalah menggalakkan kesadaran akan pentingnya lingkungan bagi masyarakat seluruhnya.

Dewasa ini kesadaran manusia akan permasalahan ekologi dan pelestarian lingkungan hidup kurang tampak. Akibatnya dari semua itu adalah krisis lingkungan seperti banjir, tanah longsor, pemusnahan kekayaan hayati, pemanasan global, kekurangan air bersih. Semua ini mengancam kenyamanan hidup dan kelangsungan ekositem itu sendiri.

Dari segelintir orang yang sadar akan  pentingnya lingkungan, dasar tindakan mereka sering bersifat antroposentris. Karena itu, kesadaran ekologis yang tepat hanya dimungkinkan bila terjadi perubahan paradigma. Basis sikap etis terhadap lingkungan mesti bertumpuh pada pergantian paradigma antroposentris ke paradigma ekosentris. Yang menjadi pusat bukanlah manusia.Tiap mikrokosmos bernilai pada dirinya. Kebernilaian inilah yang perlu menjadi basis penghargaan ekologis.

Pembongkaran dan pengakaran ini telah melahirkan ekologi dalam, pendekatan hukum terhadap alam, pendekat ananimisme. Pembongkaran dan pengakaran ini dapat ditempuh juga dengan menggeluti kosmologi Papua. Kosmologi ini mengandung nilai luhur yang padat yakni kesakralan, kesederajatan dan keharusan relasi. Kosmologi ini menampilkan alam Papua sebagai suatu pribadi yang bermartabat yang hidup secara komunal dengan manusia. Implikasi etisnya adalah alam harus dihormati dan dihargai demi sebuah relasi yang tetap bermartabat. Relasi ini dapat diekspresikan secara tegas yuridis mengingat peluang penghargaan terhadap kultur Papua yang terpatri dalam otonomi khusus. (*)

Penulis adalah Mahasiswa Program Pasca Sarjana STFT Fajar Timur Abepura, Papua.


Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*