Mega proyek
perkebunan di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua telah membuat kelangsungan
hidup masyarakat adat terancam, setelah hutan yang menjadi tempat mereka
mencari makan dikonversi dengan cara
tidak adil menjadi lahan perkebunan, demikian klaim para aktivis.
Theo Erro,
aktivis Papua yang bekerja di Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Merauke
mengatakan, konversi lahan melalui proyek the Merauke Integrated Food and
Energy Estate (MIFEE) membawa dampak serius bagi kehidupan Suku Marind Anim
yang selama ini hidup berburu dan meramu.
Proyek MIFEE yang
dimulai pada 2010 dengan luas lahan yang dialokasikan 2,5 juta hektar dari luas
total Kabupaten Merauke sekitar 4 juta hektar merupakan bagian dari upaya
pemerintah menjadikan Merauke sebagai pusat pangan.
Saat diluncurkan
tahun 2010, katanya, Mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan,
proyek ini ditargetkan bisa “memberi makan penduduk Indonesia dan dunia”.
Namun, kata Theo,
kehadiran MIFEE justru menimbulkan ketidakadilan bagi Suku Marind Anim yang
sebelumnya menjadikan hutan sebagai lahan untuk mencari makan.
“Akibat kehadiran
MIFEE, hutan dibabat. Pohon sagu yang jadi sumber makanan sudah ditebang dan
hewan untuk berburuh sudah hilang. Warga
sudah kesulitan mencari makan”, kata Theo.
Bahkan, kata dia,
di Zanegi, salah satu kampung, wilayah yang hanya berjarak 200 meter dari
pemukiman warga sudah dikonversi jadi lahan perkebunan.
Saat ini terdapat
19 perusahan yang mendapat izin. Mereka berada di sekitar kampung Zanegi, Selil, Makaling, Domande, Okaba,
Muting, Sota, Kumbe, Kurik dan Merauke dimana Suku Malind Anim berada.
Erro menegaskan,
proses mendapat izin bagi perusahan-perusahan itu dilakukan dengan tidak fair.
“Meski masyarakat
menolak menyerahkan lahan mereka, namun kemudian mendapat intimidasi. Ada
keterlibatan aparat keamanan yang memaksa masyarakat untuk melepas lahan
mereka”, katanya.
Ia menjelaskan,
masyarakat yang menolak biasanya akan dijemput dari kampung oleh aparat dan
dibawa ke hotel-hotel di kota Merauke untuk menandatangani surat perjanjian
penyerahan lahan kepada perusahan.
“Masyarakat
umumnya tidak tahu apa isi perjanjian dalam surat itu, karena mereka umumnya tidak
bisa membaca. Yang mereka tahu, mereka diinformasikan bahwa lahan mereka akan
dikontrak selama 35 tahun dan mendapat ganti rugi sekitar Rp 2.000 per hektar”,
katanya.
Namun, kata Theo,
siapa bisa menjamin, bahwa tanah mereka bisa dikembalikan setelah 35 tahun,
karena mereka tidak tahu pasti isi perjanjian
itu.
Praktek demikian,
kata dia, sudah berlangsung sejak awal masuknya MIFEE.
“Semua proses itu
dijalankan dengan melibatkan pengusaha, pemerintah lokal dan aparat keamanan.
Kami sulit membongkar praktek ini, karena mereka bekerja begitu rapi”, katanya.
“Kami menduga
kuat ada praktek kotor korupsi dalam penerbitan izin-izin itu”, tambahnya.
April
Perlindungan dari LSM pemerhati masyarakat adat PUSAKA mengatakan, kehadiran
MIFEE selain merusak lingkungan, juga memicu kepunahan suku asli Papua yang
sekarang tinggal 60 persen dari populasi.
Apalagi, menurut
dia, setiap tahun jutaan pekerja perkebunan dikerahkan ke Merauke dengan skill
yang lebih dibandingkan warga asli sehingga mereka menempati posisi tinggi
dalam pekerjaan, sementara warga asli terpaksa menjadi buruh kasar.
Ia menegaskan,
perlawanan gigih dari warga terus dilakukan, bahkan suku Malind Anim telah
menyampaikan keluhan mereka kepada Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi
Manusia.
“Laporan kerusakan
tanah adat, pemaksaan militer sudah disampaikan, termasuk proyek-proyek yang
tanpa melalui kajian soal dampak terhadap lingkungan”, katanya.
Namun, menurut
dia, meski berdasarkan informasi yang mereka dapat, Pelapor Khusus PBB ingin
meneliti masalah ini, namun pemerintah
Indonesia belum memberi respon dan telah menolak kehadiran PBB.
“Hal yang sama
terus berlabgsung. Tak ada niat pemerintah untuk mendialogkan masalah ini,
termasuk dengan kami, demi menyelamatkan warga Papua”, katanya. ***