Oscar Romero. (Foto: Ist) |
Oleh:
Sdr. Peter C. Aman OFM, Direktur JPIC-OFM Indonesia
Ada
yang tak terduga dalam pemilihan Presiden di El Salvador tahun 2009. Begitu terpilih sebagai Presiden, pada tanggl
15 Maret 2009, Mauricio Funes mengumumkan bahwa pemerintahannya akan meneruskan
semangat Uskup Oscar Romero, yakni “option for the poor”.
Mereka
yang paling miskin dan paling tak berdaya menjadi sasaran pokok perhatian
pemerintahannya. Pencanangan motto pemerintahan dengan jargon yang telah
menjadi ikon kepedulian di Amerika Latin, sesungguhnya tidak terlalu
mengherankan.
Dalam
tahun-tahun terakhir pendulum politik Amerika Latin bergerak ke kiri, ke
ideologi sosialis, bertolak dari
realitas social-ekonomi yang didera kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan dan
kebangkrutan ekologis yang semakin terang benderang.
Para
pemimpin Amerika Latin sadar bahwa keadilan dan kesejahteraan rakyat Amerika
Latin adalah taruhan legitimasi kekuasaan politik mereka. Perjuangan Gereja
sejak tahun 1960-an kini terakomodasi dalam kebijakan politik. Harapan
pembaharuan semakin membuncah.
Martir
Oscar Romero
Sekitar
satu dekade silam, di kalangan peminat teologi pembebasan, tersebar keyakinan
bahwa indikator terakomodasinya teologi pembebasan ke dalam Gereja Katolik
adalah beatifikasi dan kemudian kanonisasi Uskup Oscar Romero.
Dan
keyakinan itu mulai menjadi kenyataan, ketika Paus Fransiskus memaklumatkan 3
Februari 2015 bahwa Uskup Oscar Romero dibunuh karena keteguhannya membela iman
Kristiani. Mereka membunuh Oscar Romero karena “kebencian mereka pada iman”.
Apa
yang dinyatakan Paus Fransiskus, Paus pertama dari Amerika Latin, sesungguhnya
mengingatkan kembali apa yang diserukan Paus Benendiktus XVI (May 2007), “Uskup Agung Romero sungguh seorang saksi
iman yang besar, dia adalah pribadi dengan kebajikan Kristiani sejati”.
Paus
Fransiskus sendiri sebenarnya, sejak tahun 2013 memperlihatkan hasrat kuat
untuk menyatakan Uskup Romero sebagai orang suci. Ia menanda-tangani dekrit
yang mengakui Uskup Romero sebagai seorang martir. Jika kemartiran diakui maka
tuntutan akan adanya mukjizat tidak lagi perlu untuk proses beatifikasi.
Sebaliknya tuntutan itu tetap perlu untuk proses kanonisasi.
Pengakuan
akan uskup Romero sebagai martir sesungguhnya suatu hal “aneh”, karena dalam
kenyataannya selama tiga tahun menjadi Uskup Agung San Salvador (1977 – 1980)
ada berkilo-kilo surat yang sampai di Roma berisi laporan bahwa dia adalah
seorang politisi dan pengikut setia teologi pembebasan.
Oleh
sesama Uskup di El Salvador dia dikucilkan, juga ketika dia di bunuh, tak ada
uskup El Salvador yang hadir dalam misa pemakaman. Ia dikenal sebagai musuh
politik rezim militer El Salvador yang berakrab-ria dengan para petinggi Gereja
El Salvador. Oscar Romero dianggap
membahayakan Gereja karena afiliasi dan komitmennya terhadap para petani dan
buruh, orang-orang miskin dan tertindas di El Salvador.
Darah
kemartiran mengalir deras dalam diri Romero. Selama menjadi Uskup Agung San
Salvador, dari mimbar kotbah, tak secuil ketakutan pun diperlihatkannya, ketika
suaranya menggelegar menghunjamkan kata-kata kebenaran ibarat pedang yang
menusuk kebusukan dan kekejian kekuasaan rejim militer yang berkuasa di El
Salvador sejak tahun 1931.
Bukan
hanya mimbar kotbah, stasiun-stasiun radio mengabarkan suara kenabiannya ke
seluruh negeri, membangunkan kesadaran kaum miskin dan tertindas bahwa bukanlah
kehendak Allah bahwa segelintir orang memiliki segala sesuatu, sementara
sebagian besar orang tidak memiliki apa-apa.
Yang
dihadapi Romero bukan saja rejim militer yang brutal, tetapi juga para Uskup
yang lebih menikmati “perselingkuhan” dengan rejim militer yang ditopang
Amerika Serikat, dari pada berbelarasa dengan masyarakat dan umat tertindas di
seluruh El Salvador. Tidak ada kesatuan di antara Uskup.
Oscar
Romero ibarat krikil dalam sepatu kaum prelat berjubah ungu di El Salvador. Yohanes Paulus II, yang
menduduki tahta Petrus saat itu sempat menerima Oscar Romero di Vatikan, 11 Mei
1979. Romero menjelaskan betapa sulit baginya bekerja sama dengan para Uskup El
Salvador yang bersekongkol dengan rejim militer yang menjadikan para imam dan
religius pro-rakyat kecil target pembunuhan.
Amat
memprihatinkan bahwa para uskup konservatif yang memberkati tank-tank militer
mempersalahkan teologi pembebasan ketika kaum militer menyerang Gereja-Gereja,
membunuh pejuang keadilan, tak terkecuali iman dan biarawan-ti. Oscar Romero
dikambing-hitamkan bahwa kekejaman militer justru disebab oleh kritik-kritik
yang disampaikannya secara terang benderang. Oscar Romero dilaporkan ke Roma.
Dalam
pertemuan dengan Yohanes Paulus II, Oscar Romero diingatkan bahwa menjaga
kesatuan para uskup adalah hak pokok. Beliau mengacu kepada pengalamannya
selama rejim komunis di Polandia. Nasehat bagus itu tidak pas untuk kondisi El
Salvador. Yang dihadapi di Polandia adalah rejim non-Katolik (ateis) yang
menghambat pewartaan iman Gereja.
Masalah
di El Savador bukan memperkuat kesatuan para uskup, tetapi rejim militer represif dan brutal yang
saban hari mencabut nyawa rakyat dan pejuang kebenaran dan keadilan.
Sadar setelah menjadi Uskup Agung
Uskup
Romero dengan nama lengkap Oscar Arnulfo Romero y Goldámez, lahir 15 Agustus
1917 di Cuidad Barrios, daerah pegunungan El Salvador yang berbatasaan dengan
Honduras. Kendati secara ekonomis lebih baik dari tetangga mereka, keluarga
Romero tidak menikmati terang listrik dan kran air di rumah mereka.
Mereka
pun hanya tidur di lantai. Di masa kecil ia bekerja pada seorang tukang kayu
dan memperlihatkan kemampuan luar biasa sebagai tukang kayu, menyerupai tukang
kayu dari Nazareth.
Pada
usia 13 tahun ia masuk seminari kecil di San Miguel dan kemudian di kirim
belajar ke Roma diuniversitas Gregoriana dan ditahbiskan imam tahun 1942.
Setelah menyelesaikan lisensiat di bidang teologi, dia meneruskan ke tingkat
doktorat dengan spesialisasi Teologi Asketik.
Karena
kekurangan imam di El Salvador, maka studinya dihentikan dan dia kembali
menjadi pastor di desa. Karena kemampuannya dia diangkat menjadi rector Seminari
Inter Diosesan dan Sekretaris Dioses San Miguel.
Tahun
1970 ditahbiskan menjadi Uskup Auxilier untuk Keuskupan Agung San Salvador.
Uskup Agung saat itu adalah Luis Cháves y Gonzales yang amat bersemangat
menerapkan pemaharuan dalam keuskupan sejalan dengan Konsili Vatikan II.
Sebagai Uskup Agung dia amat progresif dalam hal berpastoral dan ternyata
semangat Uskup Agung itu tidak disenangi Romero yang menempatkan diri sebagai
seorang yang konservatif.
Semangat
konservatif itulah yang menjadi modal utama Romero, sehingga dia disukai Nuntio
yang mempomosikannya ke Roma menggantikan uskup Chaves tahun 1977.
Konservatisme Romero berubah total ketika sahabat dan rekannya Rutilio Grande,
seorang Jesuit dan pembela kaum tertindas ditemukan tewas di tangan pembunuh
bayaran dari rejim militer yang bersekongkol dengan orang-orang kaya.
Hari
itu 12 Maret 1977, di hadapan jasad Rutilio Grande, Romero berujar, “Jika
mereka membunuh dia, karena apa yang dikerjakannya, maka akupun juga mesti
menjejaki jalan yang sama”. Romero berbalik, dari seorang konservatif menjadi
seorang pejuang keadilan dan kebenaran.
Sejak
itu, tak ada yang mampu menghentikan perjuangannya. Saban hari dia membaca dan
mendoakan korban kekejaman pembunuh bayaran, yang didukung putra Presiden El
Salvador. Ia menulis surat Pastoral, yang kemudian dibukukan dengan judul,
“Voice of the Voiceless”.
Pilihan
yang diambilnya membuka kesadaran dan keyakinan bahwa kematian di moncong
senjata pembunuh bayaran adalah soal waktu saja. Sekali waktu dia berujar,
“Jika mereka membunuh saya, maka saya akan bangkit lagi dalam diri rakyat El
Salvador”.
Romero
benar, sore itu, tanggal 24 Maret 1980, seusai kotbah, seorang pembunuh bayaran
melengos masuk ke Gereja dan menyemburkan peluru ke tubuh Romero. Rakyat El
Salvador berduka. Tetapi di pemukiman-pemukiman orang kaya, malam itu kembang
api bertebaran di udara dan meja-meja perjamuan menjamur di rumah-rumah mewah.
Prelat
berjubah ungu hanyut dalam pesta dan sukacita karena kematian Romero, yang
dituduh merusak hubungan Gereja dan Pemerintah.
Romero
tidak mati. Dunia menghargai dan memujanya. Tahun 1981 dia mendapat hadiah
Nobel dan telah dicalonkan sejak tahun 1978. Ia kembali bangkit dalam diri
rakyat El Salvador. “Sebelum mereka membunuh dia, jumlah kami hanyalah ratusan
orang. Tetapi setelah mereka membunuh dia, jumlah kami menjadi beribu-ribu”,
kata seorang mantan geriliawan El Salvador.
Kini
Romero bangkit lagi dalam hati kaum beriman. Gereja Katolik, telah membeatifikasi
Uskup Romero 23 Mei 2015. Sukacita dan anugerah Pentekosta bagi Gereja dan
rakyat El Salvador, teladan kenabian bagi para petinggi Gereja.
[Artikel
ini sebelumnya dimuat di Jpicofmindonesia.com]