Dukungan Rakyat Papua Untuk ULMWP Masuk MSG Menguat

Honny Pigai
0


Dukungan terhadap ULMWP masuk Melanesia Spearhead Group (MSG)di London, Inggris pada Senin, 2 Mei 2016. Foto: freewestpapua.org

Jayapura, Honai Papua - Dukungan terhadap Gerakan Bersatu Pembebasan Papua Barat (ULMWP) menjadi anggota Melanesia Spearhead Group (MSG) menguat. Penanggungjawab lembaga kemanusian Honai Center, Basil Triharyanto mengatakan, dukungan itu mewajah dari sejumlah aksi solidaritas dari rakyat Vanuatu.

"Sejak beberapa hari lalu di Vanuatu, ada sejumlah gerakan solidaritas yang mendukung status West Papua di MSG. Itu dari rakyat Vanuatu, demo mendukung Papua," ungkap Basil, Rabu (4/5/2016).

Tak hanya itu, bendera West Papua pun mulai berkibar di depan kantor MSG sejak kemarin. "Itu mungkin menjadi petanda resmi bendera West Papua berkibar di kantor MSG. Itu semua sebelumnya tidak ada. Dan pengibaran bendera West Papua itu disaksikan perwakilan MSG," kata Basil.

Meski begitu, Basil juga bercerita, sikap anggota-anggota MSG untuk keanggotaan ULMWP terpecah. Vanuatu, Kepulauan Solomon dan organisasi perjuangan Kanaki di Kaledonia Baru, satu suara agar ULMWP menjadi anggota sepenuhnya. Sementara Papua Nugini dan Fiji, belum jelas. Dua negara ini hanya mendukung terciptanya penegakan HAM di Papua.

"PNG mendukung tapi melihat diplomasi dari pemerintah Indonesia, jadi tidak jelas. PNG hanya mendukung tentang keberpihakan pada HAM, namun penentuan status ada tarik menarik. Solomon, mendukung jadi anggota. Sementara Fiji, masih belum jelas keberpihakannya. (Apakah karena sempat ada bantuan ke Fiji beberapa waktu lalu?) Ya, itu bagian untuk mendekati secara diplomasi agar dua negara itu tak mendukung status ULMWP," jelasnya.

Di Vanuatu, tengah berlangsung Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) oleh anggota-anggota Melanesia Spearhead Group (MSG). Gelaran yang berlangsung sejak 2 hingga 6 Mei mendatang ini akan menjadi penentu terkait status ULMWP di MSG, apakah akan menjadi anggota atau tetap menjadi observer atau pengawas.

Jika ULMWP menjadi anggota, maka mereka bisa mengajukan penentuan hak nasib sendiri atau referendum ke PBB seperti yang dilakukan bangsa Kanak di Caledonia Baru pada 2018 mendatang. Keinginan mengajukan referendum ini didasari rentetan aksi kekerasan dan pelanggaran HAM yang dialami rakyat Papua oleh tentara Indonesia.

Dalam catatan Komnas HAM Papua, ada sejumlah kasus yang kerap tak dituntaskan. Semisal kematian 60 anak di Kabupaten Nduga, bentrok antarwarga dengan aparat di Yahukimo pada 20 Maret 2015, penembakan di Dogiyai terjadi 25 Juni 2015, bentrok di Tolikara pada 17 Juli 2015, penembakan di Timika pada 28 Agustus 2015 dan bentrok di Jayanti, Timika.

Pelanggaran HAM yang juga tak kunjung tuntas yakni, kasus Wamena yang terjadi pada 4 April 2003. Kasus ini bermula pembobolan gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Penyerangan ini menewaskan dua anggota Kodim yaitu Lettu TNI AD Napitupulu dan Parajurit Ruben Kana (Penjaga gudang senjata) dan 1 orang luka berat.

Dari peristiwa ini aparat TNI-Polri memburu pelaku, melakukan penyisiran, penangkapan, penyiksaan, perampasan secara paksa hingga menimbulkan korban jiwa dan pengungsian penduduk secara paksa.

Sedangkan kasus Wasior terjadi 13 Juni 2001 silam di Desa Wonoboi, Wasior, Manokwari, Papua. Kala itu, seorang pelaku pembunuhan lima anggota Brimob dan satu warga sipil membawa lari enam pucuk senjata anggota Brimob yang tewas. Saat aparat setempat melakukan pencarian pelaku, terjadi tindak kekerasan, penyiksaan, pembunuhan hingga perampasan kemerdekaan di Wasior. (*)

Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*