Para Frater, Pastor dan Suster saat demo ke DPRP tuntut negara selesaikan kasus Paniai. (Dok. SKPKC Fransiskan Papua) |
Oleh: Prof.Dr. Nico Syukur Dister, OFM
Sama seperti dalam masyarakat Papua
pada umumnya, begitu pula dalam gereja-gereja di Papua ada umat yang
berpendapat bahwa bagian barat pulau New-Guinea ini berhak atas kemerdekaan,
dan ada juga umat yang memandang bagian New-Guinea ini sebagai dua provinsi
paling timur dalam negara Republik Indonesia. Termasuk tugas hirarki gereja
untuk mempersatukan umat, dan bukan untuk memecah-belahkanhya.
Oleh karena itu uskup dan pastor
merasa tidak boleh memihak pada salah satu dari kedua pendapat ini. Barusan
seorang pastor paroki menulis di What’s App: “Tentu Gereja tidak akan teriak
dukung Papua Merdeka. Tapi bagaimana kita (maksud beliau: semua denominasi
Kistiani di Jayapura) bersama satu suara menyuarakan ketidakadilan yang terjadi
di Papua.”
Selayang pandang pernyataan sang
pastor masuk akal. Soal apakah Papua harus tetap menjadi sebuah provinsi dalam
negara Republik Indonesia ataukah patut menjadi negara tersendiri yang
bertetangga dengan R.I itu rupanya masalah politik dan karena itu menjadi
urusan para politisi, sedangkan urusan Gereja terletak di bidang iman dan
moral, misalnya pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang sudah
bertahun-tahun lamanya terjadi di Papua sampai dengan hari ini.
Akan tetapi pembedaan antara urusan
politik dan urusan gereja kehilangan relevansinya, begitu kita bertanya apakah
setiap bangsa tidak berhak atas negaranya sendiri. Tidak sedikit orang asli
Papua yang berpandangan bahwa mereka merupakan sebuah bangsa dan bukanlah cuma
sebuah suku di dalam Bangsa Indonesia. Kalau demikian, bukankah memang sebuah
ketidakadilan bahwa Papua belum merdeka? Dan bukankah “gereja” (dalam arti:
semua denominasi Kristiani di Papua bersama-sama) bertugas –antara lain-
(sebagaimana dikatakan oleh pastor paroki tadi) untuk “menyuarakan
ketidakadilan yang terjadi di Papua”? Kalau begitu pernyataan yang rupanya
masuk akal bahwa “Gereja tidak akan teriak dukung Papua Merdeka” hanya
rupa-rupanya saja masuk akal, tetapi sebenarnya belum tentu.
Orang
Asli Papua: sebuah bangsa tersendiri ataukah sebuah suku bangsa?
Kiranya pertanyaan inilah yang
melatarbelakangi “Surat Gembala” yang pada 29 Mei yang baru lalu dikeluarkan
sebagai pernyataan pers oleh pimpinan tiga gereja di Papua, yaitu GIDI, BAPTIS
dan KINGMI yang tergabung dalam “Forum Kerja Oikumenis Gereja-gereja Papua”.
Pimpinan ketiga gereja ini menyampaikan kepada jemaat bahwa –mengingat begitu
banyak peristiwa kekerasan, penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap
masyarakat sipil di Papua (termasuk kejadian beberapa hari terakhir ini) –
“tidak ada masa depan bagi bangsa Papua dalam sistemnya Indonesia.” Setahu
saya, gereja-gereja lain, misalnya GKI dan Gereja Katolik, jarang atau malah
tidak pernah mengeluarkan pernyataan yang begitu jelas dan keras. Mengapa tidak?
Alasannya barangkali dapat dirumuskan sebagai berikut.
Inti persoalan –baik soal aspirasi “M”
maupun soal pelanggaran HAM- ialah pertanyaan tadi apakah OAP merupakan sebuah
bangsa tersendiri, sehingga berhak atas negerinya sendiri pula? Menjawab
“tidak” berarti memandang OAP sebagai salah satu suku di antara sekian banyak
suku lain yang bersama-sama merupakan satu bangsa Indonesia. Dengan demikian
aspirasi “M” yang mengandaikan bahwa OAP merupakan sebuah bangsa tersendiri,
adalah aspirasi yang bertentangan dengan status quo Republik Indonesia yang
luasnya “dari Sabang sampai Merauke”. Akan tetapi karena hak mengungkapkan
pendapat merupakan hak asasi, maka selama aspirasi ini tidak mengakibatkan
orang angkat senjata untuk merebut kemerdekaan dengan kekerasan, maka para
pejuang aspirasi ini jangankan dituduh makar, ditegurnya saja tidak boleh.
Kebebasan berekspresi dijamin oleh Deklarasi Universal PBB tahun 1948 tentang
hak-hak asasi manusia, maupun oleh TAP MPR RI No. XVII/MPR/1998. Kalau menjawab
“ya”, maka masalah orang Papua serupa dengan masalah orang Yahudi pra-1949 dan
masalah orang Kurdi sekarang ini. Mengingat prinsip bahwa setiap bangsa berhak
atas negerinya sendiri, maka pada tahun 1949 PBB mengizinkan orang Yahudi untuk
mendirikan negara Israel. Izin semacam itu belum didapatkan oleh orang Papua,
dan juga belum oleh orang Kurdi yang sampai sekarang tersebar antara lima
negara (Turki, Iran, Syria, Armenia dan Irak).
Kedua pandangan tersebut ada latar
belakangnya masing-masing. Hanya kalau latarbelakang itu diketahui, ada harapan
bahwa: negara menghentikan tindakan kekerasannya terhadap OAP yang pro “M”;
umat serta masyarakat yang berseberangan satu sama lain mengenai masalah “M”,
dapat saling mengerti dan saling menghormati pandangannya; gereja (termasuk
katolik) dapat menentukan peranan yang harus dipegangnya dalam menanggapi
situasi Papa saat ini.
Demi mengetahui latarbelakang ini,
sepatah kata lagi tentang masing-masing pandangan: pro NKRI dan pro “M”.
Mengapa
Papua dipandang sebagai sebuah provinsi dalam N[K]RI?[1]
Ketika Soekarno dan Hatta
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan dituduh sebagai separatis oleh
Pemerintah (penjajah Belanda), Soekarno dibuang ke Flores dan Hatta ke Papua
(bukan sebaliknya!). Maka Hatta mengenal orang Papua, sedangkan Soekarno tidak.
Membahas luasnya Republik Indonesia yang kemerdekaannya mau diproklamasikan,
Hatta berpendapat bahwa Papua dan Malaka tidak termasuk dalam wilayah bakal
Republik yang berdaulat itu, tetapi Soekarno menjawab bahwa luasnya harus sama
dengan luasnya Hindia-Belanda. Maka Papua termasuk, tetapi Timor Timur yang
dijajah Portugal itu tidak termasuk. Karena Soekarnolah yang akan menjadi
Presiden dan Hatta wakilnya, maka Hatta mengalah.
Menurut hukum internasional pun
batas-batas negara yang baru merdeka itu harus sama dengan batas-batas bekas
negara kolonial. Melepaskan prinsip ini berarti secara kenegaraan benua Afrika
akan menjadi hingar-bingar dan kacau-balau. Setelah kemerdekaan Republik
Indonesia diproklamasi pada tahun 1945, pemerintah Belanda mengakuinya pada
tahun 1949, tetapi membuat pengecualian untuk Papua yang tetap termasuk dalam
wilayah Kerajaan Belanda. Baru sesudah Belanda menyerahkan pemerintahan atas
Papua kepada PBB, Oktober 1962, dan enam bulan kemudian PBB menyerahkannya
kepada Indonesia Mei 1963, maka Papua dimasukkan ke dalam wilayah R.I., tetapi
hanya untuk sementara waktu, yaitu sampai referendum tahun 1969, yang akan
menentukan apakah Papua tetap menjadi bagian dari R.I. atau mau menjadi negara
merdeka.
Ketika sebagai hasil “Pepera”
dilaporkan kepada PBB bahwa orang Papua memilih integrasi ke dalam R.I., maka
Papua sebagai satu provinsi dalam negeri Indonesia dinyatakan definitif oleh
rapat pleno PBB di New York. Habis perkara. Atau……?
Mengapa
dan bagaimana memperjuangkan Papua Merdeka?
“Satu Nusa, satu Bangsa, satu Bahasa
kita”. Yang terakhir betul: satu bahasa yang sama dipakai di Papua dan di
provinsi-provinsi Indonesia. Tetapi satu nusa dan satu bangsa? Kesatuan nusa
dan bangsa ditentukan oleh apa? Menurut saya, salah satu kriterium utama ialah
bersama-sama mempunyai sejarah yang sama. Justru kriterium ini tidak terpenuhi:
sejarah Indonesia (termasuk perang kemerdekaannya) bukanlah sejarah Papua. Di
samping itu ras Melanesia jauh lebih kentara di Papua daripada di –misalnya-
NTT, di mana juga ada orang yang berambut kriting namun selebihnya mereka lebih
mudah tergolong ras Malayu (yang merupakan ras mayoritas penduduk Indonesia)
daripada ras Melanesia.
Alasan lain mengapa wajarlah
memperjuangkan kemerdekaan Papua yaitu “Penentuan Pendapat Rakyat” (Pepera)
tahun 1969 itu cacat hukum. Kenapa? Sebabnya rangkap. Pertama, karena cara
Pepera dilaksanakan itu tidak sesuai dengan peraturan hukum yang telah
disepakati dan ditetapkan: “one man, one vote”. Kedua, karena rapat pleno PBB
mengesahkannya tanpa memperhatikan penyelewengan yang dilaporkan para pengamat
yang oleh PPB sendiri diutus untuk memantau caranya “Act of Free Chocice”
dilangsungkan. Akibatnya Act of Free Choice itu pada kenyataan menjadi Act of
No Choice, sebagaimana bisa kita baca, baik dalam studi P.J. Drooglever
(dkiterbitkan PT Kanisiusdi Yogyakarta pada tahun 2010 dengan judul: Tindakan
Pilihan Bebas – Orang Papua dan penentuan nasib sendiri)] maupun dalam info
dari wikipedia. Sidang Umum PBB mengesahkan hasil Pepera dengan memukul palu,
tanpa membaca isi laporan para pengamat. Bangsa-bangsa di dunia mementingkan
hubungan dagang dengan Indonesia di atas hak bangsa Papua atas penentuan
nasibnya sendiri. Ekonomi diberi prioritas, sedangkan moralitas dan etika
dinomor-duakan.
Selama kepada OAP tidak diberi apa
yang menjadi hak mereka, yaitu mempunyai negeri sendiri sebagai negara
independen dan berdaulat, semua bantuan material yang telah, sedang dan akan
disediakan pemerintah Indonesia untuk mereka di bidang infrastruktur,
pendidikan dan kesehatan yang memang mutlak perlu, tentu akan mereka terima,
tetapi aspirasi “M” akan tetap bergelora dalam lubuk hati setiap OAP, walaupun
secara rasional dan dengan akal-budinya ia mengakui keadaan faktual bahwa Papua
sekarang menjadi dua provinsi Indonesia. Sulit sekali, untuk tidak mengatakan
“mustahil”, untuk mengubah keadaan ini.
Cara memperjuangkan kemerdekaan Papua
sebaiknya bukan dengan kekerasan, yaitu dengan cara Indonesia sendiri merebut
kemerdekaannya dari tangan pemerintah kolonial. Bukankah mustahil bahwa dua,
tiga juta orang Papua menang dalam perang militer melawan ratusan juta orang
Indonesia? Berperang secara fisik hanya mengakibakan sengsara belaka. Jauh
lebih tepatlah berjuang menurut pola Mahatma Gandhi yang menjunjung tinggi
ahimsa, non-violence, dalam memperjuangkan kemerdekaan India dari tangan
pemerintah Inggris yang telah menjajah India (dan Pakistan) berabad-abad
lamanya…..
Peranan
Gereja (Katolik d.l.l.) dalam menanggapi situasi Papua
Gereja tidak hanya terdiri dari para
uskup dan klerus lainnya. “Kita adalah gereja”. Namun para gembala diharapkan
berjalan di depan dalam menggembalakan umatnya. Dan seluruh gereja, baik para
pimpinan maupun umat, mempunyai –antara lain- tugas kenabian untuk menegur
penyelewengan yang terjadi dalam masyarakat. Menegur, mencela dan mengeritik
dengan tujuan: membawa umat serta masyarakat kembali ke arah yang benar. Ketka
sejumlah biarawan anggota ordo Fransiskan bersama dengan pimpinan mereka ikut
dalam demo damai di DPR Papua memprotes “kasus Panai” (pembunuhan terhadap
anak-anak remaja yang melibatkan aparat “keamanan”), gereja katolik
melaksanakan tugas kenabiannya.
Yang disebut “tokoh gereja” itu bukan
hanya Bapak Uskup dan Bapak Pastor, tetapi juga pimpinan dan anggota tarekat
religius. Menyadari tugas kenabian gereja, maka Ordo Fransiskan
menyelenggarakan Sekretariat untuk Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan
(SKPKC). Pada bulan Maret tahun 2017 ini, SKPKC Fransiskan Papua menerbitkan
buku berjudul “Papua di ambang kehancuran – Beragam peristiwa dan fakta hak
asasi manusia di Papua 2016”. Peristiwa yang dimaksudkan ialah peristiwa
kekerasan, penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap masyarakat sipil di
Papua. Penegakan hukum amat lemah, khususnya berkaitan dengan kekerasan yang
dilakukan oleh aparat keamanan. Impunitas para pelaku pelanggaran HAM masih
tebal sekali, lebih-lebih bila anggota aparatlah yang terlibat. Saya tidak
heran ketika mendengar Mgr. Leo Laba Ladjar OFM menyebutnya sebagai “aparat
ketidak-amanan”.
Bila wakil gereja-gereja lain bersuara
tegas dan keras dalam mengemban tugas kenabian, orang bertanya: “Di manakah
suara gereja katolik?” Suara itu sering tidak terdengar, karena para petinggi
dan tokoh gereja katolik seringkali lebih suka berbicara dalam pertemuan skala
kecil dengan petinggi negara, tentara dan polisi sebagai pihak yang berwenang
serta bertanggungjawab. Pembicaraan semacam itu mereka anggap akan lebih
berhasil daripada bicara vokal di hadapan umum. Lagi pula mereka memandang diri
sebagai pembangun jembatan antara kedua pihak yang berseberangan itu. Tetapi
patut dipertanyakan apakah percakapan pribadi semacam itu lebih besar
efektivitasnya daripada protes vokal, yang gema dan kumandangnya terdengar
melalui media. Memburuknya situasi hak asasi manusia Papua terasa sekali selama
paruhan pertama tahun 2017. Berhadapan dengan kenyataan ini, pendekatan ala
gereja katolik rasanya tidak begitu efektif…….
Agar gereja juga di masa sekarang
betul-betul dapat berperan sebagai nabi, maka baik umat maupun pimpinannya
mesti sangat vokal dalam mengajukan protes keras terhadap setiap kasus
pelanggaran HAM, sambil -di satu sisi- menaruh hormat pada pandangan politik
umat dan masyarakat, entah pro-[NK] RI entah pro “M”, dan -di sisi yang lain-
menjelaskan mengapa aspirasi-M memang wajar, lebih-lebih bila diperjuangkan
secara ahimsa.
[1]
Huruf K saya taruh antara tanda kurung, karena negara kesatuan dilawankan
dengan negara federal, padahal negara federal pun merupakan kesatuan. Lihat
saja negeri Malaysia, Jerman, Belgia atau Amerika yang semua berbentuk negara
federal namun sungguh-sungguh bersatu. Bentuk federasi (Republik Indonesia
Serikat, RIS) telah ditolak sebagai bentuk negara Indonesia, namun kalau
Undang-Undang OTSUS betul-betul diimplementasi (sampai sekarang belum!) maka
Indonesia sudah merupakan federasi yang terdiri dari tiga negara bagian: Aceh,
Papua dan sisa Indonesia.