TIMIKA
- Sejak pemerintah Indonesia mengambil alih Papua dari tangan PBB dan menjadi
bagian dari Indonesia, nampaknya kehidupan masyarakat Papua tak kunjung lepas
dari berbagai tindak kekerasan, pelanggaran HAM, marginalisasi, diskriminasi
dan stigmatisasi.
Kekerasan
umumnya dilakukan aparat keamanan termasuk kepolisian dan anggota militer.
Peristiwa ketidakamanan tidak absent menimpa rakyat asli Papua. Tindak
kekerasan yang dilakukan terhadap masyarakat adat Papua, juga berakibat pada
pengungsian dalam jumlah yang tidak sedikit. Bukan hanya masyarakat, tindak
kekerasan juga dialami oleh para pegiat kemanusiaan dan juga aktivis politik.
Tak jarang kasus kriminalisasi, penahanan hingga pembunuhan menimpa mereka. Hal
ini juga diperburuk dengan adanya larangan kebebasan berserikat dan
menyampaikan pendapat di Papua.
Di
era pemerintahan Presiden Jokowi, masyarakat Papua seolah mendapatkan angin
segar. Sebab dia cukup serius merespons fenomena yang terjadi di Papua. Melalui
Kemenkopolhukam, telah disampaikan delapan kebijakan pokok Jokowi yang harus
menjadi acuan para kementerian di bawah kabinet kerjanya.
Luhut
Binsar Pandjaitan, selaku Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko-polhukam),
ketika kunjungi Papua pada Maret 2016 lalu mengaku, ada 16 kasus pelanggaran
HAM yang akan dituntaskan. Menurutnya, akan transparan dalam penyelesaiannya,
jadi dia berharap elemen-elemen dari Papua terlibat. Dengan begitu, karanya, persoalan
HAM bisa diselesaikan dengan baik dan bijak. Menurut dia kasus HAM akan
diselesaikan secepatnya kalau bisa tahun ini diselesaikan. Kalau seperti
pelanggaran HAM berat, kita berharap pada Mei kita sudah finalisasi dan
laporkan kepada Presiden Jokowi. Tapi ini sangat tidak mungkin kalau
difasilitasi oleh negara sendiri. Tidak ada cerita pelanggaran HAM dikaji oleh
pihak yang terlibat, yang harus ada adalah pihak netral. Karena dalam sejarah
tercatat bahwa pelanggar HAM tidak pernah akan mengakui bahwa dia-lah
pelakunya.
Maka
komitmen Pemerintah Jokowi dalam mengatasi permasalah HAM di bumi Papua sampai
saat ini dipertanyakan. Jokowi telah beberapa kali berkunjung ke Papua namun
hanya mengurusi infrastruktur pembangunan. Fokus ini telah mengabaikan
kebutuhan mendasar masyarakat Papua akan tegaknya hak asasi manusia, Pasalnya dalam satu tahun lebih kepemimpinan
Jokowi, telah terjadi beberapa beberapa kasus kekerasan, penangkapan,
penganiayaan, pemenjaraan rakyat Papua. Janji-janji Jokowi menjadi mubasir dan
nihil.
Menurut
catatan Komnas HAM, ada 9 kasusu pelanggaran HAM yang bersifat berat. Hampir
700 orang Papua menjadi korban penangkapan, penganiayaan, penyiksaan dan
pembunuhan selama setahun pemerintahan Jokowi.
Pada
November 2015 terdapat 41 anak meninggal secara misterius di Kabupaten Nduga.
Kematian empat siswa dan 17 anak pada Desember 2014, di empat Kabupaten yaitu
Yahukimo, (Maret 2015), Dogiyai (Juni 2015), Tolikara (Juli 2015) dan Timika
(Agustus 2015). Selain itu ada 500 orang yang ditangkap, kasus saham PT
Freeport Indonesia.
Belum
terhitung kasus-kasus lain yang terjadi sejak awal tahun 2016 hingga kini.
Kasus penangkapan besar-besaran yang terjadi dalam 9 hari dari tanggal 5-13
April 2016, saat rakyat Papua mendukung agar United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) diterima full
dalam keaggotaan di Melanesia Spearhead
Group (MSG). Yang terdata sebanyak 61 orang ditahan. Kasus itu terjadi di
beberapa daerah Papua, di antaranya, Timika 15 orang, Kaimana 15 orang,
Yahokimo 7 orang, Merauke 13 orang, Jayapura 11 orang. Beberapa di antaranya
dikenakan pasal Makar.
Kasus-kasus
ini menjadi bukti rezim Jokowi adalah rezim dehumanis. Rezim yang memojokkan
human dari keberadaban, keadilan dan kebebasan. Kemerdekaan berpendapat di muka
umum jadi babak belur dan tak berwajah. Papua duka demokrasi. Ini menjunjukkan,
pemerintah negara bukan melakukan strategi pembungkaman kemerdekaan
berpendapat, tapi juga terkesan untuk membiarkan pelanggaran HAM tetap subur
dan berjalan di Papua.
Pemerintah
terlihat melakukan pembiaran, tanpa penanganan dan keseriusan untuk
menyelesaikan akar masalah. Harusnya pemerintah seriusi lewat mengizinkan tim
pencari fakta yang diusulkan perwakilan rakyat Papua lewat organisasi ULMWP. Karena
ULMWP organisasi yang terdaftar di tingkat PBB, maka tidak perlu dan tidak ada
dasar untuk melarangnya. Kalau ruang ini terus ditutup-tutupi pemerintahan
Indonesia, maka secara tidak langsung Indonesia bisa diduga dan dugaan itu
pasti bahwa pelanggaran HAM di Papua selama ini dilakukan aparat gabungan atas
perintah negara. Negara berandil penuh menciptakan pelanggaran HAM. Untuk
membuktikan kebenaran, tim pencari fakta atas pelanggaran HAM harus mendapatkan
tempat. Pintu yang menutup ruang itu harus dibuka. Selain itu, janji Jokowi
tentang membuka ruang bagi jurnalis asing pun tidak menutup kemungkinan untuk
akses tersebut dibuka.
Kalau
bebar-benar Indonesia mau agar Papua terhindar dari konflik dan kekerasan yang
berlangsung sudah stengah dekade lebih ini, maka mesti dibuka ruang bagi tim
pencari fakta dan para jurnalis asing. Profesor David Robie, Jurnalis, penulis
dan direktur Pasific Media Center Auckland University of Tecnology, ketika
diwawancarai oleh media Fiji Times, sebagaimana dilaporkan oleh
asiapasificreport.nz mengatakan sebaiknya sebaiknya wartawan pasifik datang ke
Papua. Karena menurut dia, masalah HAM di Papua menjadi isu yang harus
diselesaikan. Ia mengatakan dari sudut pandang jurnalis isu Papua adalah isu
pelanggaran HAM. Maka bagi dia menyuarakan yang tidak bersuara dan
memperjuangkan hak-hak semua manusia pada dasarnya adalah sebuah kebenaran. Kebenaran
itulah yang harus diungkap supaya pelanggaran HAM dapat diminimalisir dan
bahkan diselesaikan.
Honaratus Pigai
Papua,
20 April 2016