BAHAYA RACUN MERCURI DAN IKAN MATI DI AREA FREEPORT

Honny Pigai
0


Tulisan ini tidak mengklaim bahwa jutaan ikan mati di area Freeport akibat limbah Tailling dan/ atau perubahan iklim. Penjelasannya amat terpisah. Tapi yang bisa kita pertanyakan, mengapa ikan mati di area Freeport dan bukan di area lain?

Jutaan Ikan Mati Di Area Freeport
Jutaan ekor ikan ditemukan mati di sekitar Sungai Yamaima, Wilayah Tanggul Barat, B7, yang masih merupakan areal operasional PT. Freeport Indonesia (PTFI). Diduga ikan-ikan itu mati sekitar tanggal 8 April 2016. Nelson dan beberapa temannya yang temukan kejadian ini, melaporkan ke perusahaan kontraktor tempat mereka kerja.


Salah satu pengawas proyek, Muser mengatakan, laporan ribuan ikan ditemukan mati terapung dan terdampar di Sungai Amaima ini deketahui dari Nelson.

"Jadi tanggal 9 lalu, saya punya pengawas lapangan datang ke kantor kasih lihat gambar saat mereka berangkat pake speed menuju tempat kerja, pas lewat satu tanjung langsung mereka lihat ikan sudah padah mati dan terapung dan makin perahu ke menuju ke depan makin banyak lagi ikan yang mati terapung.”

Menurut laporan yang diterima, kata Muser, ikan yang mati di perutnya terdapat garis bercak kuning dan mengeluarkan bau serta air sungainya berminyak.

Wakil Ketua I, Lembaga Masyarakat Adat Suku Kamoro (LEMASKO), Gery Okoare mengatakan, kematian ikan-ikan bukan karena plankton makanannya sudah habis atau pun akibat perubahan iklim. Karena melalui hasil survey di dua wilayah adat Suku Kamoro bagian Barat dan Timur ditemukan tidak ada ikan dan biota sungai lain yang mati. Ia menduga bahwa kejadian tersebut muncul dari racun limbah hasil pertambangan PTFI.

 “yang menjadi pertanyaan lembaga adat adalah kenapa bisa terjadi hanya disekitar pertambangan Freeport, ini ada apa? Kalau memang akibat iklim alam, kenapa di wilayah adat lain yang kami survey tidak ada yang terkena. Setelah pantauan, yang terjadi hanya di tanggul barat hingga Cargo Dok, Pelabuhan Amamapare (pelabuhan Freeport).”

Salah satu mata perncarian suku Kamoro adalah nelayan. Peristiwa kematian jutaan ikan mengakibatkan mata pencariaan warga suku Kamoro hilang. Terutama warga suku Kamoro yang mendiami pulau Karaka yang kesehariannya hidup sebagai nelayan sudah tidak pergi mencari ikan.

Gerry Okoware menilai, masyarakat Pulau Karaka sekarang sudah tidak bisa mencari ikan, kepiting dan udang, karena airnya sudah baud an ikannya sudah mengembang. Airnya sudah berubah warna dan berminyak. Akibatnya sangat mudah kena penyakit dan sekarang itu terjadi, ada yang sudah batuk-batuk. Kalau demikan kenapa?

Bahaya Racun Mercuri

Sesuai penelitian Tim Peneliti, Ibu Yakomina dan kawan-kawannya, pada 2013 lalu, menemukan hampir semua sungai positif terkena limba dengan racun kimia yang namanya “Mercuri”. Racun ini tidak serentak mematikan semua makhluk hidup yang tercemar, namun di dalam organ makhluk itu tersimpan racun kimia tersebut dan berbahaya bagi manusia yang mengkonsumsinya. Oleh karena itu, penangkapan ikan di sekitarnya untuk berjualan di Timika menjadi ancaman juga bagi para konsumen. 

Fenomena kerusakan ekologi Sungai dan Laut membawa dampak yang pelan tapi pasti bagi rakyat nelayan. Hal ini disebabkan karena sekian puluh tahun hingga sekarang atas kebijakan Freeport membuang limba tambang yang mengandung racun Mercuri tersebut. Bahan kimia ini bisa menimbulkan berbagai bentuk penyakit yang mematikan, ketika orang mengkonsumsi bukan saja air (secara langsung), tetapi juga berbagai tanaman dan hewan di sungai/laut yang tercemar. Konsekuensi limba bagi penduduk Mimika, suku Kamoro, dipastikan akan kehilangan mata pencarian dan akan menanggung penderitaan berbagai penyakit turun temurun.

Bentuk penderitaan atas limba bagi masyarakat antara lain:

Pertama, Sungai-sungai tidak bisa digunakan untuk minum, karena sudah terkena racun. Ketergantungan warga Kamoro sekarang pada air hujan, namun kalau kemarau yang berkepanjangan, maka mereka mengungsi ke tempat lain atau di Timika dan segala aktifitas pun terhenti. Kalaupun minum air sungai, konsekwensinya jelas bahwa bukan air yang diminum, tapi racunnya yang diminum.

Kedua, Kalau warga masyarakat sadar bahwa penangkapan hasil laut di lingkungan yang tercemar akan membahayakan kesehatan, maka secara otomatis rakyat kehilangan mata pencarian. Kalau kehilangan mata pencariannya, bagaimana harus bisa hidup?

Ketiga, Data pesien yang memadati Rumah Sakit Mitra Masyarakat, selain beberapa Rumah Sakit dan Klinik di Timika tak pernah kurang dari 100 pasien dan bisa dipastikan penyebabnya adalah racun mercuri.

Keempat, Di jalur utama transportasi laut bagi masyarakat yang menggunakan perahu Boad ke pesisir dan pedalaman Mimika Timur, sering terganjal akibat pasir tailing yang meluap. Jalur-jalur kali tertibun. Lokasi di mana pembuangan limba di Sungai menimbulkan endapan material pasir dan lumpur  yang mengakibatkan pendangkalan dari hulu sampai laut. Di bagian tanggul pendangkalan terjadi dengan material pasir campur lumpur, yang kadang-kadang seperti lumpur hidup. Ketika perahu motor tersangkut pasir maka lama-kelamaahan perahu tersebut disedot dan ditenggelamkan oleh material tersebut. Ironisnya, di jalur endapan sepanjang sungai ini rakyat setempat masih saja mencari ikan, artinya efek limba Mercuri akan mereka rasakan setelah 1-5 tahun mendatang.

Kelima, Jeritan suara korban dampak limba di sebutkan di atas kurang di tanggapi serius oleh Pemerintah dan PT. Freeport. Karena yang terjadi “lempar masalah, fungsi, peran dan tanggung jawab antara kedua adikuasa di Timika itu”. Kondisi ini masih berlanjut tanpa terselesaikan.


Honaratus Pigai

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*