Everd Scor Rider Daniel – Dok. Pribadi |
Oleh:
Everd Scor Rider Daniel
Belakangan ini, permasalahan hak atas
tanah menjadi diskursus sosial yang cukup kompleks. Persoalan lahan kerap
menimpa komunitas masyarakat di tingkat akar rumput (grassroots).
Ketika berbicara soal hak kepemilikan
tanah/lahan masyarakat, paradigma yang digunakan perlu didasarkan pada cara
pandang moral. Sebab, selama ini konteks kepemilikan lahan masyarakat dipandang
sebelah mata. Sehingga kemudian menimbulkan kealpaan negara membela hak sosial
masyarakat.
Titik sentral pembahasan tidak hanya
berkutat soal bagaimana fungsi dan kegunaannya, namun lebih dari itu, bagaimana
cara mempertahankan hak lahan sebagai warisan identitas masyarakat.
Menurut Van Vollenhoven, dalam bukunya
De Indonesier en zijn Grond (orang Indonessia dan tanahnya), hak milik adalah
suatu hak eigendom timur (Ooster eigendomsrecht), suatu hak kebendaan (zakelijk
rech) yang mempunyai wewenang untuk; (a) Mempergunakan atau menikmati benda itu
dengan batas dan sepenuh-penuhnya, (b) Menguasai benda itu seluas-luasnya. (Van
Vollenhoven, 1926: 92).
Apabila dikaitkan dengan tesis Van
Vollenhoven, kenyataan yang terjadi saat ini justru bertolak belakang dengan
penghormatan terhadap kebendaan (tanah) masyarakat.
Kembali pada pokok permasalahan,
dinamika kekerasan dan perampasan lahan lazim terjadi. Gambaran konkretnya
dapat dilihat ketika hak masyarakat secara serampangan dilanggar. Tanah yang
sebelumnya memiliki fungsi sosial telah berubah menjadi benda ekslusif (objek
kepentingan). Siapa punya modal akan menguasainya.
Pada dasarnya, Konstitusi menjamin hak
tanah dan hutan sebagai media kolektif. Namun pada realitanya, terjadi
pengkaplingan dan dikotomi dalam konteks penguasaan oleh kelompok berlabel
kapitalis. Secara singkat, hegemoni kelas menjadi alat (tools) dan media
sistematis menjarah tanah masyarakat.
MIFEE:
Ancaman bagi Pola Konsumsi Orang Papua
Merauke Integrated Food and Energy
Estate (MIFEE) merupakan salah satu program pangan dan energi yang diusung pada
era kepemimpinan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2008. Namun,
sempat mengalami penundaan dan baru resmi bergulir pada tahun 2010. MIFEE
merupakan salah satu strategi pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan dan
energi nasional.
Program ini sejalan dengan Rancangan
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019, dimana Papua dipandang
sebagai kawasan strategis dan memiliki sumberdaya alam potensial dalam
mewujudkan ketahanan pangan.
Namun demikian, proyek MIFEE yang
diproyeksi menyerap lahan seluas 1,2 juta hektar ini, dipandang sebagai salah
satu terobosan keliru. Alasan pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan justru
bertolak belakang dengan kebiasan hidup masyarakat Papua.
Kondisi ini diperkuat dengan fakta
bahwa pada dasarnya, konsumsi masyarakat Papua adalah sagu (makanan
tradisional). Kehadiran MIFEE, dengan format transformasi lahan, berpotensi
mengancam keberadaan hutan yang selama ini berfungsi sebagai habitat tanaman
sagu. Singkatnya, degradasi kawasan hutan akan mengubah pola konsumsi
masyarakat Papua.
Studi konkret yang terjadi di Papua
adalah pengaruh ancaman MIFEE terhadap eksistensi Suku Malind (masyarakat asli
Merauke, Papua) yang kini tengah mengalami dilema akibat kehilangan habitat
meramu sagu. Bagi suku Malind, sagu bukan sekedar bahan konsumsi, namun sebagai
warisan budaya lintas generasi.
Ekspansi MIFEE yang secara drastis
mengubah lahan hutan dapat membentuk siklus kelangkaan pangan dan krisis
identitas masyarakat Papua. Pola transformasi, dari wilayah hutan menjadi lahan
pangan, dikhawatirkan dapat memicu terjadinya pergeseran nilai dan pola
konsumsi masyarakat Papua.
Pola eksploitatif yang ditimbulkan
MIFEE, membawa ancaman dan konsekuensi perubahan struktur komoditas pangan.
Konsekuensi dari kejadian ini secara perlahan mengikis relasi “ke-intim-an”
masyarakat Papua dengan budayanya.
Dari beberapa uraian konkret,
kehadiran MIFEE merupakan sebuah potret kekerasan budaya karena secara
eksplisit mendegradasi “lahan hidup” masyarakat Papua. Disebut “lahan hidup”,
karena lahan sagu dimodifikasi secara paksa oleh pemerintah. Sementara, pada
kenyataannya, komoditas sagu tidak bisa dipisahkan dari kebiasaan hidup
masyarakat Papua. Ada ikatan historis yang begitu kuat sehingga sagu sebagai
warisan dan ciri khas konsumsi Orang Asli Papua. Ketika, keberadaannya tidak
dapat dinikmati atau diakses oleh masyarakat, maka berpotensi melahirkan gejala
pergeseran budaya. Kondisi ini sekaligus menjadi media sistematis merusak
kolektivitas budaya Papua.
MIFEE:
Kekerasan Gaya Baru
Selain ancaman sosial dan budaya,
proyek MIFEE yang diproyeksikan sebagai lumbung pangan di kawasan Papua juga
dikhawatirkan dapat menciptakan pola kekerasan baru bagi masyarakat Papua serta
berkembangnya bahaya kapitalisme melalui jaring korporasi.
Poin kritis dari bentuk kekerasan
adalah lahirnya implikasi transformasi lahan secara paksa. Artinya, masyarakat
tidak bersedia ketika hutan mereka diubah. Fenomena ini kemudian melahirkan
gangguan (disparitas) dalam struktur sosial.
Masyarakat tidak dapat bertindak
ketika melihat hutan mereka digusur. Kerena, ketika ada perlawanan, maka
perjalalanan MIFEE semakin diwarnai kekerasan dan intimidasi. MIFEE akan
memperlebar konflik dan menebar teror bagi lahirnya kekerasan dalam habitus
sosial masyarakat.
Selama ini, masyarakat sebagai kelas
minoritas hanya menerima resiko ancaman dan hak-haknya dikerdilkan secara tidak
manusiawi. Pembiaran oleh negara semakin telah membuka ruang kekerasan baru
dalam lapisan sosial (social layers).
Pada dasarnya, pendekatan kebijakan
dan prinsip humanis mesti sejalan agar menghindari tindakan kekerasan. Sebab,
pada semua tingkat pemahaman, kekerasan merupakan musuh bersama (common enemy).
Kehadirannya tidak dibenarkan karena sebagai stigma pelanggaran HAM. (*)
*Penulis
adalah alumni Ilmu Hubungan Internasional UPN “Veteran” Yogyakarta. Saat ini
sedang menempuh Studi Magister Social Welfare di Universitas Padjadjaran,
Bandung