“Orang
Papua dalam bahaya kepunahan. Bukan satu hal penyebabnya. Seribu satu macam penyebab kematian ada di hadapan. Mari sadar dan Lawan."
Kekerasan dan pembunuhan di Papua, wajah Indonesia yang gagal menyelesaikan pelanggaran dehumanisasi. |
Rumah Sakit
Dok 2, Riwayat Dulu
Bagian
ini, diulas perkembangan dan perubahan rumah sakit Dok 2. Bagian ini juga
merupakan ringkasan catatan Julian Howai, yang dimuat pada media kompasiana.
Dalam
catatan, Julian Howay, saat Belanda masih menguasai wilayah Netherland Nieuw
Guinea (kini Papua), dibangun sejumlah rumah sakit dan klinik kesehatan. Salah
satunya di wilayah Holandia (sekarang Jayapura)
Pembangunan
dilengkapi fasilitas penunjang dan tenaga medis yang profesional.
Klinik
awalnya hanya melayani pengobatan malaria dan pasien bersalin. Tapi, dalam
perkembangan kemudian, klinik itu berkembang hingga menjadi Holandia Binnen Hospital, kini menjadi
RSUD Abepura yang dikelola Pemerintah Provinsi Papua. Sebab kebutuhan
pengobatan terus meningkat saat itu.
Setelah
beberapa tahun, badan Zending Protestan dan Misi Katolik Belanda mengusulkan
pembangunan satu rumah sakit baru dengan kualitas yang jauh lebih baik.
Akhirnya
dirintislah pembangunan rumah sakit Zending di Holandia, kini RSUD Dok II
Jayapura, pada 1956.
Waktu
itu, ada dua lokasi dipilih untuk pembangunan rumah sakit, Skyland dan Dok 2
Jayapura (lokasi permanen sekarang). Tapi atas pertimbangan temperatur udara
dan kondisi lingkungan, maka lokasi Dok 2 dianggap paling cocok.
Tanah
untuk pembangunan rumah sakit telah dihibahkan masyarakat adat Kayo Pulo.
Sebagai gantinya, mereka akan berobat gratis.
Proses
pembangunan rumah sakit ini dimulai 1956 dan memakan waktu kurang lebih 3 tahun
hingga diresmikan pada 1959.
Di
rumah sakit ini terdapat 4 dokter umum, selebihnya merupakan dokter spesialis.
Adolf Rumkabu (75 thn), seorang mantri asal Papua didikan Belanda menjadi saksi
sejarah atas masa kejayaan rumah sakit ini. Ia mengatakan, pada setiap unit
rumah sakit Zending memiliki sekitar 2 hingga 3 dokter ahli. Mereka dibantu
20-an suster Belanda, dua dari mereka adalah suster Papua dan Ambon.
Pelayanan
di rumah sakit ini pun dibantu para perawat asal Papua yang menjalani
pendidikan di rumah sakit. Karena sejak berdiri, rumah sakit Zending juga
difungsikan sebagai tempat pendidikan bagi generasi Papua yang ingin menjadi
perawat atau mantri. Semua kebutuhan obat dan peralatan medis didatangkan dari
Negeri Belanda (Netherland).
Dengan
status ganda sebagai rumah sakit rujukan dan pendidikan, disinilah tempat
sejumlah siswa-siswi Papua dari berbagai wilayah datang mengenyam pendidikan
medis.
Adolof
Rumkabu bersama beberapa temannya merupakan angkatan pertama yang mengikuti
pendidikan dan praktek di rumah sakit Zending. Semenjak ditangani orang-orang
Belanda, rumah sakit ini menerapkan prinsip pelayanan maksimal. “Kalau ada
pasien karena kecelakaan,suster dan dokter akan berusaha keras selama 24 jam
agar pasien itu tidak sampai meninggal,” kata Rumkabu.
Belum
lagi jika ada pasien yang menderita TBC paru, petugas medis akan berupaya
maksimal agar pasien yang bersangkutan bisa sembuh total. Semua kebutuhan obat
bagi pasien disediakan langsung dari rumah sakit. Bila ada pasien kusta
(leprosi), ia akan dirujuk ke rumah sakit lepra yang telah dibangun Belanda di
kilometer 12 Sorong atau rumah sakit lepra di Mopah Merauke dan Manggurai.
Pasien kusta memang mendapatkan perlakuan dan pengobatan istimewa dibanding
pasien lain di jaman Belanda.
Yang
menarik menurutnya, dalam pelayanan kesehatan diberlakukan pengobatan gratis
kepada pasien tidak mampu. Kalau ada pasien rujukan dari wilayah pedalaman,
setelah sembuh diobati pasien akan dipulangkan kembali atas tanggungan
Pemerintah Belanda melalui rumah sakit. Rumkabu masih ingat persis, saat itu
hampir tidak ada pasien yang mengeluh selama masa pengobatan. Itu karena
manajemen rumah sakit dikendalikan dengan baik dan tersistem. Pada ruang jaga
dari rumah sakit ini terdapat sebuah telpon. Ini difungsikan 24 jam bagi pasien
di luar rumah sakit yang membutuhkan penanganan segera dari petugas medis yang
setiap harinya bersiaga. Tidak ada diskriminasi antara pasien orang Papua dan
orang Belanda.
Demikian
pula pelayanan kesehatan diberlakukan setara. Tidak membedakan masyarakat
biasa, pejabat pemerintah, tokoh masyarakat, pemimpin gereja, biarawan
khatolik, pastor hingga anggota militer. Dengan begitu status sosial dan
kedudukan tidak menentukan prioritas perlakuan bagi seorang pasien. Dalam
menangani pasien yang datang berobat saja, petugas medis akan mendahulukan
pasien yang membutuhkan penanganan segera. Bukan hanya itu, rumah sakit juga
memberlakukan disiplin kerja yang tinggi dan pengawasan kepada setiap perawat
dan dokter yang bekerja. “Saya masih ingat, waktu itu hampir tidak ada pasien
yang terbengkalai pengobatannya,” kata mantri yang pernah berkerja di beberapa
bagian rumah sakit ini.
Masa Indonesia
di Papua
Setelah
zaman Indonesia, setiap hari justru kita akan mendengar kisah warga Papua yang
harus berjuang mendapatkan pelayanan kesehatan.
Ada
sikian pengalaman yang dikeluhkan warga. Berbagai rumah sakit di Papua,
terdapat jauh dari rumah warga. Sementara biaya transporttasi mahal.
Rakyat Papua yang ditembak mati |
Kadang
masyarakat harus memilih, uang yang mereka dapatkan apakah untuk transportasi
atau berobat?”
Sesampai
di rumah sakit, warga pun tak mendapat pelayanan yang sesuai standar, karena
fasilitasnya tidak mendukung. Akibatnya, banyak warga yang meninggal karena macam-macam
penyakit.
Masalah
lain, adalah fenomena ‘punahnya’ marga di suku-suku Papua. Dan ini hampir
jarang diseriusi oleh pihak kesehatan masa ini. Amat sangat jauh berbeda dengan
masa Belanda di Papua.
Kenyataan
yang terjadi di Papua, orang Papua meninggal meninggal karena dua hal, penyakit atau mati ditembak aparat. Buktinya, Sejak tahun 1962, banyak warga yang mati
karena ditembak. Apalagi waktu itu Papua diberlakukan sebagai Daerah Operasi
Militer (DOM) dengan beberapa tahap. Banyak warga mengungsi di hutan dan mati
di hutan, entah karena ditembak atau karena penyakit.
Mengapa
mereka mengungsi, karena mereka tahu aparat akan melakukan pendekatan
kekerasan. Tindakan kekerasan dan pembunuhan itulah yang dijalankan waktu itu.
Di
hutan, warga yang mengungsi berhadapan dengan hujan, lapar, digigit nyamuk,
digigit ular dan sebagainya. Ini wajah kebrutalan Indonesia.
Laporan
Brisbane
Peristiwa
penembakan warga sipil di Papua bukan isapan jempol. Sebuah laporan yang
dirilis oleh Komisi Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Keuskupan
Brisbane, Australia berjudul We Will Lose Everything mengangkat
persoalan-persoalan kekerasan dan marjinalisasi di Papua sejak tahun 1960-an.
Laporan
itu akhirnya dikeluarkan sejak pemerintah Indonesia menolak menerima sebuah
proposal dari para pemimpin tinggi Forum Kepulauan Pasifik pada September 2015.
Komisi
JPIC Keuskupan Brisbane kemudian mengirim tim kecil untuk misi pencari fakta
tentang pelanggaran-pelanggaran HAM di Papua pada Februari 2016.
Semua
kekerasan dan pelanggaran HAM di Bumi Cendrawasih ini, menurut laporan
tersebut, bermula dari keterlibatan kekuatan-kekuatan internasional yang
memungkinkan pemerintah Indonesia menguasai Papua pada tahun 1960-an tanpa
persetujuan yang bebas dari orang-orang Papua.
Peristiwa
politik Penentuan Pendapat Rakyat, referendum yang diadakan pada 1969 di Papua Barat
untuk menentukan status daerah bagian barat Pulau Papua, antara milik Belanda
atau Indonesia, ditolak oleh sejumlah warga Papua, sehingga dipercaya berakibat
pada terjadinya berbagai tindak kekerasan yang sistematis hingga hari ini.
Kekerasan
itu berupa intimidasi, berupa penahanan, pemukulan, penganiayan, dan pembunuhan
orang-orang Papua yang melakukan aksi damai untuk menunjukkan resistensi mereka
terhadap Jakarta dan tutuntan mereka untuk mengakhiri kekerasan pasukan
keamanan.
Lalu
terjadilah rentetan kasus kekerasan di Papua, antara lain:
·
Pemboman
oleh Pesawat ‘Bronco’ di Pegunungan Tengah pada 1977.
·
Pemboman
pada 1977 di Pegunungan Tengah yang merusak kebun dan binatang-binatang yang
berakibat kelaparan dan kematian banyak orang-orang kampung.
·
Pembantaian
terhadap perempuan dan laki-laki di Biak 1998.
·
Penganiayaan
terhadap dua Pastor Gereja Kingmi 2010.
·
Pembunuhan
tokoh-tokoh Papua, Arnod Ap (1984), Dokter Thomas Wanggai (1996), Theis Eluay
(2001), Kelly Kwalik (2010).
Laporan Komisi
Brisbane juga memuat data kekerasan selama satu dekade terakhir.
Antara
lain:
·
Penahanan
dan pembunuhan yang terjadi setelah Kongres Papua ke 3 tahun 2011.
·
Kekerasan,
penahanan, dan pemukulan terhadap anggota-anggota kelompok KNPB (Komite
Nasional Papua Bersatu) yang melakukan aksi damai demonstrasi dan doa yang
memperlihatkan sikap politik mereka terhadap Papua.
·
Penembakan
22 orang Papua dalam kasus Paniai berdarah, 4 anak diantaranya ditembak mati di
tempat pada 8 Desember 2014.
·
Mengenai
hal ini, Direktur Utama Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Al Ghifari Aqsa yang
mengkaji khusus data tersebut mengaku tak kaget.
Ditangkapnya Ribuan
Aktivis
Laporan
Brisbane itu mengkonfirmasi data yang dimiliki oleh lembaganya tentang kondisi
di Papua. Bahkan LBH pernah mengirim bekas direkturnya, Bambang Widjojanto,
untuk menetap di Papua dan melakukan penelitian pada 1993 silam.
“Saya
pribadi melihat ada kondisi pelanggaran HAM yang tidak bisa berdiri sendiri,
ada pola kekerasan yang menahun. Kita hanya tinggal menunggu waktu kapan kekerasan
yang lain akan terjadi,” katanya.
Ribuan Masa aksi damai yang ditahan di lapangan Brimob Jayapura |
Kekerasan
itu terjadi biasanya karena masalah yang fundamental, seperti kebebasan
berpendapat dan berekspresi.
Seperti
yang terjadi beberapa hari belakangan, yakni penangkapan 1.724 aktivis yang
melakukan aksi damai secara serentak di Jayapura, Sorong, Merauke, Fakfak,
Wamena, Semarang, dan Makassar.
Aksi
dilakukan dalam rangka mendukung United
Liberation Movement for West Papua (ULMWP) masuk menjadi anggota penuh Melanesian Spearhead Group (MSG), sebuah
forum diplomatik di Pasifik Selatan. Organisasi inilah yang mengadu pada Komisi
Gereja Katolik Brisbane pada awal Januari tahun ini.
Beberapa
hari sebelumnya, kata Algif, 52 aktivis juga sudah ditangkap menjelang aksi
itu.
Selain
itu, aksi dilakukan untuk memperingati 1 Mei 1963, hari bergabungnya Papua ke
Indonesia dan mendukung pertemuan International
Parliamentarians for West Papua (IPWP) yang akan dilakukan di London, Rabu,
3 Mei.
Salah
satu agenda pertemuan di London itu adalah membahas tentang referendum untuk
Papua.
Sedangkan
pada April dan masih ada tambahan data penangkapan aktivis di Merauke,
Jayapura, dan Wamena.
“Total
ada 1.839 orang Papua yang ditangkap sejak April 2016 hingga hari ini,”
katanya.
Lalu apakah
data itu diteruskan pada pemerintah?
Algif
mengatakan data itu sudah dilaporkan ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Komnas HAM-lah yang meneruskan kepada Presiden Joko “Jokowi” Widodo.
Jokowi tak
pernah bahas kekerasan di Papua?
Komisioner
Komnas HAM Natalius Pigai membenarkan bahwa pihaknya telah melaporkan dugaan
pelanggaran HAM berat ini pada presiden. Termasuk dugaan terjadinya praktik
genosida di tanah Papua.
Laporan
itu terakhir diserahkan Komnas HAM ke presiden lewat rekomendasi pada 10
Desember 2014.
Lalu apa
hasilnya?
Alih-alih
ditanggapi, “Presiden tidak pernah menanggapi masalah HAM di papua sampai
sekarang,” katanya.
Padahal,
kata Pigai, laporan itu mendesak, karena kondisi warga Papua semakin
memprihatinkan. Seperti yang dituturkan oleh Marthen, ada penembakan warga
sipil dan sampai masalah kemiskinan.
“Faktanya
memang ada beberapa marga di Papua yan sudah punah, tidak hanya di Papua, tapi
hampir di seluruh tanah Papua,” katanya.
Menurut
Pigai ini akibat penetrasi kekerasan yang sudah berlangsung sejak 40 tahun yang
lalu.
Pendekatan
yang digunakan negara disebut salah. Setelah pendekatan keamanan, negara lebih
suka melakukan pendekatan infrastruktur, seperti membangun gedung di tanah
Papua.
Padahal
jumlah warga yang meninggal karena ditembak dan disiksa aparat, serta karena
penyakit terus berjatuhan.
Akses
pelayanan kesehatan juga berada di level yang membahayakan, karena penyebaran
virus HIV dan AIDS yang cukup cepat.
Pada
2010 terdapat 5.000 penderita HIV dan AIDS, sedangkan pada 2014 terdapat 19.202
jiwa.
Sisanya,
kata Pigai, warga yang tak mampu bertahan karena kemiskinan.
Apa yang
salah?
Pigai
menuding ada kebijakan struktural yang melanggengkan diskriminasi ini di Papua.
Mirip
seperti yang terjadi pada kaum Rohingya di Myanmar Selatan, suku Aborigin di
Australia, hingga Indian di Benua Amerika.
Kelompok
migran dan pendatang, dalam hal ini pemerintah Indonesia, mengkondisikan agar
warga Papua menjadi minoritas di tanahnya sendiri.
“Proses
genosida ini bukan barang baru. Jauh hari George Junus Aditjondro menyatakan
demikian. Ada fenomena ini pada 1980-90-an,” katanya.
George
Junus Aditjondro adalah penulis buku Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam
Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia. Tulisannya salah
satunya banyak membahas tentang Papua.
Karena
itu kata Pigai, laporan Komnas HAM dan Komisi Brisbane ini sudah cukup bagi
pemerintah untuk mengambil tindakan memutus mata rantai kejahatan HAM khususnya
genosida di Papua.
Marthen
menambahkan pernyataan Pigai, bahwa kekerasan itu harus dihentikan karena warga
Papua sudah lelah.
Karena
itu ia tak heran jika ada wacana Papua Merdeka. “Kalau orang di Pulau Jawa
mengalami kekekerasan berulang-ulang seperti kami di Papua, pada akhirnya kan
mikir, mending kita merdeka saja,” katanya.
Bagaimana
tanggapan pemerintah atas hal ini?
Kepada
Ursula Florene dari Rappler, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Luhut
Binsar Panjaitan, waktu itu, mengatakan akan menelusuri temuan itu. “Bila ada
bukti awal, akan kita proses secara terbuka,” katanya.
Pembunuhan dengan Racun |
Sementara
itu Istana Negara belum memberikan pernyataannya. Juru bicara Presiden Jokowi,
Johan Budi SP, menjanjikan pada Rappler 2016 akan ada tanggapan. Tapi hingga
sekarang kekerasan masih tetap berlangsung di Papua.
Pemerintah
seperti melakukan tindakan pembiaran terhadap segala pelanggaran dan kekerasan
kemanusiaan yang berlangsung di Papua. Maka diprediksi Papua sedang menuju
kepunahan, karena kematian orang Papua bukan hanya diserang melalui Penyakit
yang tidak mendapatkan perhatian serius dari Kesehatan saja, tetapi juga dengan
tindakan pembunuhan diam serta penembakan. ***