Dahulu, ketika kecil, saya sempat
bercita-cita menjadi Presiden. Mungkin saat itu pikiran kekanak-kanakanku
memandang kalau menjadi Presiden, saya akan dilimpahi banyak uang, banyak
teman, bisa berbuat segala hal, pokoknya jadi orang hebat.
Wakti itu, tak terpikir tentang
tanggung jawab yang besar kalau jadi. Apalagi masalah dan keprihatinan yang
harus tertuju kepada rakyat dalam negara yang akan saya duduki.
Saya memulai melangkah dari nol. Hanya untuk satu tujuan. Saya mulai melangkah sekolah, bahkan kuliah. Waktu jadi pelajar dan mahasiswa, cita-cita kecilku tumbuh kembali, “Jadi Presiden.” Ya, itulah yang harus diraih. Tidak boleh menyia-nyiakan waktu.
Saya pikir iklim demokrasi
memungkinkan siapa saja bisa menjadi orang nomor satu. Semangat tidak berhenti.
Saya belajar sekemampuan. Otak dan hati sudah tertuju. Siap diri dengan matang.
Apalagi pasti ada persaingan yang ketat. Itu tekatku.
Tekat untuk menjadi presiden, karena
punya ide agar keberpihakan bagi rakyat terjamin. Supaya rakyat mengalami
keadilan dan kedamaian. Cara untuk buat rakyat baik, ada banyak jalan. Bukan
hanya kesejahteraan dan kemakmuran hidup secara material belaka semata, tetapi
lebih dari itu kemakmuran dan kedamaian hati. Karena saya pikir bahwa jadi
presiden itu punya kuasa untuk mengatur dan melayani dengan sepenuh hati, bukan
memiliki egoisme fundamental yang hanya mementingkan diri, keluarga, suku atau
partai pendukung saja. Presiden itu orang publik, milik banyak orang. Maka
segala aspek harus disentu, sekalipun dimintai kemerdekaan untuk mendirikan
negara sendiri.
Tapi sudahlah, itu hanya cita-cita
lama. Aku kini lebih suka jadi rakyat yang suka bertani di kebun. Memegang
cangkul dan menanam sayuran dan petatas. Membuat pagar dan melindungi kebun.
Memagari rumah dan melindungi rumah sendiri sebagai tempat suci. Bahkan menjadi
teladan bagi sesama di sekitarku.
Namun, hatiku telah lama pedih. Para
presiden tak ada yg becus mengurusi. Rakyat semakin miskin. Rakyat ditindas,
dintimidasi, diteror, dipenjarakan dan bahkan ditembak tapi tak ada tanggapan
presiden. Seperti presiden menyetujui semuanya itu terjadi. Kekuasaannya
sebagai pemimpin runtuh dan hancur.
Ironis, aset-aset rakyat berkurang
satu demi satu, yang ternyata hanya memperkaya segelintir kroni pejabat.
Sekolah-sekolah daerah banyak yang nyaris ambruk. Sumber Daya Manusia nyaris
musnah. Tak sebanding antara kekuasaan pak presiden dengan apa yg dikerjakannya.
Apa yang menghambat kekuasaan pak
presiden? atau jangan-jangan kau
menyetujui semua kebobrokan ini berlangsung lama. Atau jangan jangan kau
lebih mementingkan dirimu sendiri daripada rakyat. Atau jangan-jangan kamu dulunya
justru bercita-cita jadi pedagang, sehingga melihat negeri ini sebagai barang
dagangan dan menjualnya kepada siapa saja yang mau membelinya dengan harga yang
cocok(mungkin murah, mungkin juga sangat murah).
Jangan begitu pak presiden. Demi
Allah, kami akan menuntutmu di akhirat kelak. Jangan lagi berharap ke surga
dengan mudah. Enak saja!!
*Honaratus Pigai
Papua, 24 Mei 2016
Papua, 24 Mei 2016