PT. Usaha Nabati Terpadu adalah
salah satu anak perusahaan dari PT. Menara Group. Pada bulan April 2013 PT.
Usaha Nabati Terpadu membayar uang pelepasan tanah (tali-asih) kepada
masyarakat adat, khusus marga Woboi dan marga Afu di Kampung Meto dibayar pada
hari Senin 22 April 2013. Selanjutnya menghilang hingga hari ini (2013 – 2017)
sudah memasuki tahun ke empat. Kami tak tahu, apakah ada perundangan di Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mengatur perusahaan yang menghilang
seperti ini, termasuk hal mencabut izin?
PT. Usaha Nabati Terpadu yang
menghilang tanpa jejak ini dilihat sebagai peluang oleh pihak lain. Maka pada
awal November 2016, salah satu dari tiga perusahaan yang izinnya ditandatangani
Bupati Kab. Boven Digoel bulan November 2015 diantar oknum LMA Kab. Boven
Digoel datang di Asiki dan mangajak masyarakat agar menolak PT. Usaha Nabati
Terpadu. Alasannya terlalu lama menghilang dan tak tahu di mana rimbanya untuk
berkomunikasi.
Oknum LMA Kab. Boven Digoel membuat
surat kesepakatan dengan perusahaan baru
itu, dan mengajak masyarakat yang “ditangkap” begitu saja di Asiki pada awal
November 2016 untuk menandatangani surat penolakan dan masing-masing dikasih
amplop berisikan uang 1 juta rupiah. Dikatakan bahwa itu hanya tanda tangan
daftar hadir, tetapi ternyata tanda tangannya begitu banyak dan berupa buku
yang cukup tebal. Kami seperti ditodong (khususnya oleh pihak oknum LMA Kab. Boven Digoel) untuk harus tanda tangan. Di sini kami merasa
dobohongi dan dipaksa untuk menandatangani sesuatu yang kami sendiri tak
mengerti dengan baik dan benar.
Marga Woboi dan Marga Afu di
kampung Meto dan kampung Yang adalah marga yang hutan adatnya menjadi wilayah
PT. Usaha Nabati Terpadu dan yang menjadi target pihak lain sebagaimana
dijelaskan di atas. Berikut beberapa pernyataan sikap tegas saat pertemuan
masyarakat adat Marga Woboi dan Marga Afu di kampung Yang tanggal 2 Januari
2017:
Kami belum mendapatkan kejelasan
berita dari PT. Usaha Nabati Terpadu, sehingga kami menolak semua perusahaan
baru dalam bentuk apa pun di wilayah tanah adat kami, kecuali bila ada
kejelasan status tanah dari PT. Usaha Nabati Terpadu yang sudah membayar uang
pelepasan tanah pada hari Senin 22 April 2013.
Kami menolak pihak lain sebagaimana
dijelaskan di atas karena telah menjebak kami menandatangani dokumen yang kami
tidak mengerti dengan baik dan benar.
Bila perusahaan baru menduduki
tanah yang telah dibayar PT. Usaha Nabati Terpadu, maka kami yang tanda tangan
terancam dituntut, sementara itu terjadi
dalam keadaan dipaksa dan tak tahu, sehingga kami menolak segala aktifitas apa
pun yang dilakukan pihak lain sebagaimana dijelaskan di atas.
Kami menolak segala aktifitas yang
dilakukan oknum LMA Kab. Boven Digoel yang selalu men-cap orang suku Auyu
miskin dan hanya sawit dapat membuat makmur. Lalu, apakah Anggai, Getentiri,
dan Ujung Kia yang sudah dimasuki perkebunan sawit itu bukan suku Auyu? Apakah
mereka sudah makmur? Kami menolak kata-kata: “Orang suku Auyu miskin.”
Kami mendesak pemerintah kabupaten,
khususnya Bupati dan SKPD terkait, agar segera mengambil sikap tegas untuk
menertibkan segala aktifitas infestasi di tanah kami, karena berpotensi
konflik.
Bila ada perusahaan baru yang
hendak menduduki hutan kami maka harus ada pertemuan antara Bupati, SKPD
terkait (perkebunan – kehutanan – bappeda), DPRD, Distrik, aparat keamanan (TNI
– POLRI), pihak PT. Usaha Nabati Terpadu, masyarakat adat pemilik/
penanggungjawab asli atas tanah, dan pihak perusahaan baru sendiri. Kalau
pertemuan seperti ini tidak ada maka kami menolak siapa pun, karena itu
menimbulkan gejolak yang tidak perlu dan merugikan kehidupan kami sebagai
bagian dari masyarakat Indonesia.
Kampung Yang, 2 Januari 2017
Marga Hobuang: Bruno
Marga Afu: Kasimirus Kobi
Marga Woboi: Lukas Kemon
Penasehat Ketiga Marga dari Marga
Woboi: P. Felix Amias MSC
#Baca juga: pusaka.or.id