Charles Patrick Burrows, alias Romo Carolus saat diwawancarai di Cilacap, Jawa Tengah, 09 Agustus 2016. (Kusumasari Ayuningtyas) |
Pertama kali
menginjakkan kaki di Indonesia tahun 1973, Charles Patrick Burrows langsung
datang ke Kampung Laut di Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Misionaris
Oblate of Maria Immacolata asal Dublin, Irlandia, itu ingin mengabdi untuk
mengentaskan warga Kampung Laut dari kemiskinan dan keterasingan.
Kala itu,
Kampung Laut dicap sebagai tempat tinggal simpatisan partai terlarang yang
dikelilingi hutan mangrove. Warga desa sedang ditimpa wabah penyakit mata
sampai mengeluarkan nanah. Romo Carolus – begitu Charles Patrick akrab disapa –
mengobati mereka. Dia telaten mengoles mata warga yang sakit dengan salep.
Kemudian
bertahap, Romo membangun jalan dan jembatan. Saat itu, Kampung Laut hanya punya
satu jalan kecil diapit rawa dan laut. Perlu waktu dua jam untuk mengakses
Kampung Laut dari Cilacap dengan speedboat. Hal itu tidak menyurutkan niat Romo
Carolus untuk melanjutkan misi kemanusiaan.
Setelah mendapatkan
Kewarganegaraan Indonesia tahun 1983, dia mendirikan Yayasan Sosial Bina
Sejahtera (YSBS). Lewat yayasan itu, kini sudah 25 sekolah berbagai tingkatan
mulai TK, SD, SMP, hingga SMA, dan sekolah untuk anak berkebutuhan khusus
dibangun di wilayah Cilacap dan sekitarnya.
Pengusung
teologi cinta
Sosok yang
dikenal dengan pengusung teologi cinta ini memandang penting pendidikan karena
itu adalah jalan untuk mengentaskan kebodohan dan kemiskinan.
Romo Carolus
meyakini Tuhan telah menyediakan segala sesuatu untuk manusia selama dia mau
berusaha. Menurut dia, sudah seharusnya setiap manusia bisa memberdayakan
hidupnya tanpa harus menunggu bantuan orang lain.
Ketika ada
kesempatan sekecil apapun, manusia harus menyempatkan untuk melakukan kebaikan.
“Ketika kita
akan mati, tetapi masih ada kesempatan untuk menanam pohon, maka tanamlah.
Lakukan kebaikan meski sedikit setiap ada kesempatan,” tuturnya saat ditemui
BeritaBenar, Selasa, 9 Agustus 2016.
Dengan prinsip
cinta kasih yang selalu diyakininya, dia mengajarkan warga Kampung Laut cara
memberdayakan diri dan lingkungannya. Romo mengajari warga membuat ikan asin,
mengajak mereka menanami lahan yang ada dengan tanaman bermanfaat untuk
meningkatkan taraf hidup.
Dia juga
memberdayakan warga untuk setiap program yang dijalankan, termasuk saat
melakukan program reklamasi di Kampung Laut yang sebagian besar masih berupa
rawa supaya bisa digunakan untuk pembangunan.
Tahun 2012, Romo
Carolus dianugerahi penghargaan Maarif Award sebagai tokoh yang merawat dan memperjuangkan
kemanusiaan berbasis nilai-nilai keagamaan universal. Penghargaan ini adalah
apresiasi untuk segala yang telah dilakukannya sejak bertugas di Paroki St.
Stephanus Cilacap.
Bupati Cilacap
Tatto Suwarto Pamuji mengatakan pihaknya sangat mengapresiasi segala kegiatan
yang dilakukan Romo Carolus. Tatto sudah mengetahui berbagai sepak terjang Romo
jauh sebelum jadi Bupati Cilacap.
“Beliau turun
langsung ke lapangan dan mendengar sendiri keluhan masyarakat,” kesan Tatto.
Sebuah kapal sedang menyeberang ke Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, 09 Agustus 2016. (Kusumasari Ayuningtyas) |
Dampingi
terpidana mati
Sejak 17 tahun
lalu, dia rutin melakukan persembahan ekaristi di Pulau Nusakambangan setiap
Rabu minggu ketiga.
Selain melakukan
misi kemanusian, Romo Carolus juga diminta mendampingi terpidana mati menjelang
dan saat menghadapi regu tembak. Dia mengaku selalu mendampingi tanpa
membeda-bedakan.
Meski bertugas
mendampingi terpidana mati beragama Katolik, tetapi pada praktiknya terkadang
juga berbicara banyak dengan terpidana mati dari agama lain.
“Saya memang
Katolik, tetapi tidak masalah jika diminta mendampingi yang agama lain dan
tetap membimbing mereka,” ujarnya.
Prinsip
universal yang diterapkannya itu meninggalkan kesan bagi sesama rohaniawan yang
bertugas mendampingi terpidana mati beragama Islam, Hasan Makarim. Setiap kali
mendampingi terpidana mati dari masa isolasi sampai eksekusi, para rohaniawan
selalu kompak.
“Kami tentu saja
saling mengenal karena kami harus bisa bekerja sama dengan kompak,” ungkap
Hasan kepada BeritaBenar.
Romo mengaku
masih mengingat setiap detik dan menit ketika ia menyaksikan eksekusi mati
terhadap dua warga Nigeria yang terlibat kasus narkoba, 26 Juni 2008 lalu.
Sosok yang tak
setuju hukuman mati itu, merasa bahwa eksekusi mati dengan penembakan adalah
sebuah penyiksaan.
“Saya ingat
sekali, saya lihat sampai mereka diturunkan dari tali. Ada 7-8 menit mereka
mengerang kesakitan baru mati,” ujar Romo.
Kala itu, dia
memang berkesempatan untuk mendampingi terpidana mati sejak sebelum dieksekusi
hingga menghembuskan nafas terakhir.
Di tahun yang
sama, dia memberikan kesaksian tentang pelaksanaan eksekusi mati dan seperti
apa proses dari terpidana mati ditembak hingga mati, di Mahkamah Konstitusi,
dan mengatakan bahwa hukuman mati dengan cara ditembak adalah siksaan.
Tetapi sejak
itu, dia dan rohaniawan lain tak diperbolehkan lagi mendampingi terpidana mati
saat berhadapan dengan regu tembak.
“Kami
disingkirkan sebelum mereka ditembak,” tutur Romo.
Kebijakan
tersebut sangat disayangkan, karena saat hukuman mati sudah tak terelakkan
lagi, maka setidaknya hukuman tersebut dibuat lebih manusiawi, kata Romo.
Pendampingan
terpidana mati hingga akhir hayat adalah satu hal yang kini diperjuangkan Romo
walaupun sejatinya tetap berharap pemerintah melakukan moratorium hukuman mati.
Melihat
kemungkinan moratorium tipis, ia berharap perjuangannya supaya rohaniawan dapat
mendampingi terpidana mati sampai menghembus nafas terakhir dikabulkan.
“Mereka tidak
punya pilihan bagaimana akan mati, tapi mereka bisa memilih untuk mati dengan
bermartabat. Istilahnya die in dignity,” tutur Romo Carolus.
Sumber: Berita Benar/ Kusumasari Ayuningtyas