Masyarakat Kampung Nayaro, Jadi Terlantar Di Mimika

Honny Pigai
0
Hari ini, 18/04/16, sekitar pukul 18.00 WP, saya temui seorang tetuah di pinggir kota Mimika. Tetua itu bercerita panjang lebar tentang kampung mereka, kampung NAYARO yang sudah terlanjur dimakan tailling/limbah berracun yang dihasilkan perusahan raksasa PT. FREEPORT.

Salah satu kisah yang diceritakan adalah tentang kampung mereka yang sekarang berada di tengah limbah. Dia bercerita dahulu kampung itu dihuni oleh orang Kamoro, terdapat hutan sagu yang amat luas, binatang buruan pun tidak sulit didapatkan dan bahkan airnya segar menyejukkan.

Sekarang wajah kampung itu sudah berubah. Dia berada di tengah limbah. Limbah Freeport sudah mengelilinginya. Kampung sudah menjadi semakin kecil. Hewan buruan habis, apalagi pohon sagu dan tumbuhan lainnya.

Warga Kamoro yang dulunya tidak sulit mencari kebutuhan hariannya, makan dan minum sudah dimakan limbah. Seperti sudah tidak ada hidup lagi di kampung tersebut.

Sejak 2009 hingga saat, ini hampir seluruh warga Kampung Nayaro mengungsi dari kampung mereka. Ada yang tinggal di kost-kost di Timika, ada yang terusir dari kost karena tidak sanggup lagi membayar biaya sewa rumah dan keleleran di Timika, ada yang menumpang pada sanak saudara mereka di Nawaripi, Koperapoka, Paumako. Ada juga yang tinggal di gubuk-gubuk darurat di pinggir aliran pengendapan tailing PT Freeport bahkan sampai Pasir Hitam.

Aksi pengungsian besar-besaran warga Nayaro itu, terjadi setelah serangkaian kasus penembakan di sepanjang ruas jalan Tanggul Timur-Kali Kopi dalam area konsesi PT Freeport. Padahal Ruas jalan Tanggul Timur merupakan akses satu-satunya menuju Kampung Nayaro.

Warga Nayaro semakin takut akan menjadi sasaran tembak oleh pihak-pihak yang tidak diketahui pasca terjadi penembakan terhadap kendaraan milik Kepala Kampung Nayaro, Herman Apoka yang sedang mengangkut karyawannya untuk bekerja pada proyek penghijauan di Tanggul Barat pada 9 Februari 2012.

Sampai sekarang mereka (Masyarakat Nayaro) tinggal di rumah-rumah kost, ada yang tinggal di befak-befak di pinggir kali. Mereka punya kampung, tapi sekarang Kampung Nayaro diam membisu karena tidak ada lagi warga yang berani tinggal di sana.

Warga Kamoro asal kampung Nayaro, sudah tidak punya tempat lagi. Mereka bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Mengais hidup dipinggiran kota Timika. Tidak punya rumah dan dusun lagi. Tambah lagi, sulit mendapat dan memenuhi kehidupannya.

Kampung yang dulunya disanjung sebagai tempat pemroduksi hewan buruan, pohon sagu, tambelo (sejenis ulat, makanan khas orangn Kamoro), dan segala jenis makanan lain, telah hancur berantakan. Meranalah hidup. Dibabak-belurkan dan sudah musnah masa depan hidupnya. Sayang Umatku.

Di sela-sela ceritanya yang panjang lebar, tetua itu mengatakan "Anak, hidup bersama Indonesia, bangsa Papua akan hancur. Dunia jadi saksi. Tanah Papua leluhur kita jadi saksi. Masa depan kita akan musnah. Sama seperti masyarakat Nayaro," pintanya.

Tetua itu hening sejenak. Seperti merenung sesuatu. Tapi terdengar nafasnya tersengal. Rupanya dia ratap dan mengusap matanya dengan telapak tangannya. Suasana bisu. Kemudian saya alihkan ke topik lain. Suasana kembali cair...kenapa tangis?? akan ditanyakan lain waktu... (Honaratus Pigai)

Tags

Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*